Wednesday, June 25, 2008

Jika

Jika
ungkapan kata yang hendak kau cari untuk menjabarkan rasa rindu
maka tiada akan teruraikan dengan aksara

Jika
ribuan lagu yang hendak kau dengar untuk merasakan cinta didada
maka tiada senandung yang bisa mewakilkan rasa dihati

karena rasa itu ada didalam sanubari yang hanya kamu mampu menyentuhnya
bukan oleh kata atau senandung
tetapi hanya mampu dirasakan oleh jiwamu yg tulus

*Bluesky to Blue Ocean*
I do miss you too ....

Thursday, June 19, 2008

meet me in horizon

do you remember when the last time we met?

yeap, it was in kafe wien @ plaza senayan. it was the first and last time we finally met each other. entah untuk menuntaskan rindu, atau sekedar menghapus keinginan untuk bertemu setelah sekian lama kita hanya bercumbu dalam pikiran kita, bercumbu lewat pertukaran kata. dan kita seperti seperti dua orang tetangga yang baru saling kenal, berdiri di balik jendela masing-masing, saling memandang ke depan, di tempat mana kau dan aku masing-masing berdiri memandang. ada rindu di mata kita. ada sejuta kata tercekat di ujung lidah kita. aku menerawang. kau ringan melangkah melayang.

lalu setelah itu kau menjelma langit biru, bercengkerama dengan tebaran awan dan mega. dan aku terlempar, tenggelam ke dalam lautan biru terseret arus rindu yang berputar liar. tapi kau bilang kita terikat dalam satu simpul yang kita berdua tak pernah bisa mengerti dan menjabarkan sebagai ikatan apa. nyata namun selalu saja kita sangkal keberadaannya. kita abaikan namun selalu terbukti bahwa seringkali kita sampai pada kesimpulan... bahwa seringkali kita saling membutuhkan.

dan aku mulai merindukan langit dengan lukisan awannya yang selalu penuh aneka rupa, tetapi setia dengan satu warna dasar. biru. seperti merefleksikan suatu rasa yang selalu kupendam, tak pernah berubah. biru. warna yang menggambarkan orang yang merindu. warna seseorang yang tengah menyimpan satu rasa namun seringkali disangkalnya. warna yang hampir setiap orang akan meng-amininya, sebagai pengejawantahan satu rasa... cinta!

dan warna itu kian membius ketika aku tenggelam dan bermetamorfosa sebagai lautan biru yang labil. kadang tenang tak beriak, namun seringkali bergejolak. dan kau bilang kau terjerat biru yang kau biaskan di riak-riak biru airku. itu warnamu. membias di pucuk-pucuk riak yang sesungguhnya mewakili keinginan hati yang begitu ingin meraihmu. ya, kau bilang kau pun terjerat. maka kau sampaikan suatu hari lewat angin dan camar-camar yang melanglang melayang dan kadang hinggap di bibir-bibir pantai yang sengaja kulandaikan untuk tempatmu tetirah kala kau penat dan lelah. bahwa kau ingin singgah hinggap dan rebah, memeluk pasir-pasir yang menjanjikanmu kelembutan di kaki-kaki rampingmu yang jenjang menantang ombak, yang berkejaran dengan senang berebut menyentuh kulit kakimu.

namun sebesar apapun keinginan kita, kau makin menjelma selayaknya langit biru dan aku tenggelam ke dasar lautku. maka keinginan kita makin menjadi suatu kemustahilan, yang membuat kita sadar. namun kita tetap menafikan kenyataan, dan tak peduli menyadap mimpi-mimpi yang selalu saja kita berusaha menjadikannya sebagai satu lembar kehidupan nyata, di antara ribuan lembaran hari-hari yang selama ini kita jalani.

lalu kita terjaga. kau terhempas dan aku terhenyak. menyadari bahwa yang menyatukan kita selama ini hanya sebuah garis yang padanya kita terlihat menyatu dengan semu. cinta memang sesuatu yang nyata dan bisa kita sadari keberadaannya. namun saat yang bersamaan cinta menjadi sesuatu yang aneh ketika baik kau dan aku tak bisa menyentuhnya, apalagi menyimpannya untuk kita jadikan sesuatu yang bisa menyembuhkan setiap sakit yang hadir atau mengenyahkan dahaga yang selama ini menyekat.

dan kita saling menghibur diri kita dengan kesadaran. mungkin memang sebaiknya cinta kita simpan dikebiruan kita yang sama. kita simpan semua keinginan dan hasrat dan merubahnya dengan naluri untuk saling mengasihi, menyayangi, memperhatikan, memberikan ketenangan dan kedamaian untuk kita satu sama lain, dan menjadikan itu semua sebagai energi bagi kita untuk terus memperbaiki diri, seperti katamu.

meski kita memang tidak diciptakan untuk berada dalam satu dimensi yang sama, ruang dan waktu yang sama nyata, namun setidaknya aku akan selalu bisa menyaksikanmu, dimanapun aku berada... dan kapanpun. di siang yang benderang yang menjadikanmu biru menyala dan terang, atau di malam yang ditaburi sinar bulan yang perak yang menjadikan semua yang hitam menjadi putih dan pucat seperti perak. seperti kerap kulakukan ketika rindu tentangmu bergumul dan menarikku berjalan menapaki malam demi malam, sekedar menghitung berapa banyak bintang-bintang yang menemanimu di malam hari. atau mereka aneka bentuk awan gemawan yang kerap merupa berbagai macam siluet hewan. sambil mengingatmu... dan menerka-nerka gerangan sedang apa kamu di malam-malam ketika rinduku menggapaimu.

sementara kau pun bisa menyapaku, membelaiku, menyentuhku, kapan pun kaki-kaki telanjangmu yang indah dan ramping menjejak butir-butir pasir pantai yang katamu selalu kau rindui. atau ketika jari jemari lentikmu membelai riak-riak sisa-sisa pecahan ombak yang berlarian mengejar dan menyentuh bulu-bulu halus di kakimu, bercanda, berkejaran menemani kau yang berlarian dan tertawa gembira, seperti saat tiap kali kau singgah dan bersembunyi di Padma, di jantung pantai Legian, Bali atau di tempat-tempat serupa lainnya dimana kau bisa menyapaku, menyentuhku, menguraikan simpul-simpul yang kita jabarkan sebagai rindu itu, yang bergulung abadi seiring waktu. kapan pun. seperti riak ombak di lautku, dan lenguhan angin di langitmu. abadi.

maka jika aku rindu memelukmu dan kau bisa singgah dan turun sesaat saja dari ketinggianmu, turunlah dan temui aku. karena akan selalu ada tempat untuk kita bercumbu dan bercengkerama. suatu garis yang menyatukan biru yang ada diantara kita. suatu tempat bernama... cakrawala.

yeahh, meet me in horizon!